Buton Tengah adalah sebuah kabupaten pemekaran di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, yang kaya akan warisan budaya Kesultanan Buton namun juga menghadapi tantangan pembangunan yang khas daerah pasca pemekaran. Dalam konteks ini, aktivisme dan gerakan sosial, termasuk peran perempuan di dalamnya, berkembang dalam dinamika yang masih relative stagnan tentu ini tidak terlepas dari faktor budaya, agama (penafsiran yang ortodoks), ekonomi, dan politik lokal.
Konteks Sosial, ekonomi dan politik
Budaya Patriarkal yang Kuat pada Masyarakat Buton khusus Buton Tengah seperti banyak masyarakat Indonesia lainnya, memiliki struktur patriarkal yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan dalam pengambilan keputusan publik. Meskipun ada sejarah kecil tentang perempuan dalam Kesultanan Buton seperti Ratu pertama dan kedua Kerajaan Buton, yaitu Wa Kaa-ka dan Bulawambona serta Wa Ode wau yaitu saudagar kaya yang telah memberi sumbangsih besar terhadap penyelesaian Pembangunan benteng keraton Buton. Meskipun demikian, narasi utama kekuasaan dan kepemimpinan tetap dominasi maskulin.
Nilai-nilai Keagamaan Islam sebagai agama mayoritas memainkan peran signifikan dalam mengatur norma sosial. Penafsiran agama yang konservatif seringkali membatasi peran perempuan ke ruang domestic (urusan rumah tangga), meski tidak sedikit pula kelompok perempuan yang menggunakan ruang keagamaan seperti pengajian, majelis shalawat dan lain-lain sebagai basis organisasi dan pemberdayaan.
Selain konteks sosial budaya, Kabupaten Buton Tengah yang masih berusia 11 tahun, tantangan Pembangunan Daerah Sebagai daerah pemekaran baru tentu akan berhadapan dengan isu-isu Keterbatasan Infrastruktur seperti yang paling dirasakan saat ini adalah infrastruktur jaringan internet yang belum merata sehingga berdampak pada akses informasi pengetahuan dan perluasan relasi. Ekonomi yang Bertumpu pada Perkebunan dan potensi kelautan yang belum dikelola secara optimal sehingga berdampak pada ketersediaan lapangan pekerjaan yang berpengaruh signifikan terhadap Tingkat kemiskinan.
Menurut data BPS Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten Buton Tengah adalah 67,58 pada awal tahun 2025, menjadikannya sebagai daerah dengan IPM terendah di Sulawesi Tenggara, tentu faktor ekonomi, Pendidikan dan kesehatan yang menjadi tolak ukur utamanya. Akses Pendidikan dan Kesehatan terlihat pada Kualitas dan fasilitas pelayanan pendidikan serta kesehatan yang masih perlu ditingkatkan.
Realitas
Aktivisme di Buton Tengah tidak selalu tampak dalam bentuk demonstrasi besar, tetapi lebih sering dalam bentuk gerakan sosial akar rumput yang terfragmentasi. Seperti gerakan menuntut Pembangunan infrastruktur, Gerakan menolak alih fungsi lahan (eksploitasi hutan dan pembukaan Kawasan pertambangan), isu-isu kemiskinan, stunting dan akses Kesehatan serta Gerakan mendorong peningkatan kualitas Pendidikan dan beasiswa untuk anak-anak kurang mampu.
Aktivisme yang sudah ada tentu juga memiliki tantangan Dimana, Gerakan masih bersifat lokalistik berdasarkan isu spesifik disatu lingkungan kecil sehingga sulit membangun koalisi yang solid secara masif dan menyeluruh. Selain itu, stigma negatif sering dilekatkan pada pergerakan aktivisme di kabupaten buton Tengah seperti pelabelan “Pembangunan citra dan pencarian panggung”, juga mempengaruhi cara pandang eksternal (masyarakat) membuat pergerakan kurang mendapat perhatian masyarakat dan pemerintah.
Sistem kekerabatan yang masih kental serta hubungan patronase, juga bisa mereduksi Gerakan jika kepentingan keluarga atau kelompok yang diutamakan, serta Institusi sosial pada sistem sosial tidak befungsi sebagaimana yang dikemukakan Durkheim dan parsons dalam fungsionalisme structural.
Peran Perempuan dalam Ruang Aktivisme
Perempuan telah lama berperan dalam berbagai bentuk aktivisme, baik secara tradisional-informal maupun peran modern-formal dengan tujuan memperjuangkan keadilan, bentuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Perempuan di Buton Tengah juga bagian dari aktor penting dalam aktivisme, meski peran mereka sering tidak terlihat atau ditempatkan di barisan belakang karena hambatan structural dan budaya, mereka terus menggerakan perubahan dan menjadi pelaku tranformasi sosial.
- Peran Tradisional dan Informal: penjalin solidaritas dan memobilisasi warga melalui jaringan sosial informal seperti keagamaan (pengajian, majelis taklim dan shalawat), serta pertemuan lainnya.
- Peran Modern dan Formal:
- Aktivis lingkungan, Sejumlah perempuan terlibat dalam kegiatan lokal seperti Komunitas pemerhati lingkungan dengan menindaklanjuti isu-isu pemanasan global, seperti rehabilitasi Kawasan pesisir dan mendorong manajemen sistem pengolahan sampah.
- Lembaga Kemasyarakatan Desa, peran Perempuan pada Lembaga ini cukup signifikan, keterlibatan mereka membantu peran pemerintah desa dalam pembinaan dan kesejahteraan sosial generasi muda sebagai tanggung jawab sosial masyarakat.
- Fasilitator Pemberdayaan: Banyak perempuan yang menjadi kader posyandu, pendamping program pemerintah, atau fasilitator program pemberdayaan ekonomi (Pendamping PKH, Pendamping Kecamatan dan Lokal Desa).
- Jabatan politik dan fungsional, Meski jumlahnya masih sedikit, mulai bermunculan perempuan yang menduduki posisi dan peran penting seperti Guru, Dosen, anggota DPRD, kepala dinas, Camat/Lurah sampai pada tingkatan struktur pemerintahan terkecil.
- Tantangan yang dihadapi Perempuan Aktivis
- Beban Ganda, masyarakat buton Tengah masih jauh dari karakteristik masyarakat urban. Sebagian besar masyarakat masih menganut sistem pembagian kerja antara laki-laki dan Perempuan, sehingga mereka harus berjuang melawan masalah publik sekaligus memikul tanggung jawab domestic (urusan rumah tangga);
- Sosio-kultural, masih ada pemahaman bahwa Perempuan tidak boleh keras, banyak bicara serta kritis dalam lingkungan keluarga maupun sosial;
- Pengambilan keputusan, Meski menjadi pengerak di lapangan, representasi mereka dalam perundingan dan pengambilan keputusan akhir seringkali minim, ini juga bisa dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor internal (psikologis) dan eksternal (determinasi maskulin).
Opportunities (peluang)
- Pemanfaatan Media Sosial, Generasi muda perempuan mulai menggunakan media sosial untuk menyuarakan isu-isu lokal, memperluas jangkauan dan membangun jaringan solidaritas yang melampaui batas wilayah;
- Kolaborasi dengan Lembaga Luar, Keterlibatan dengan LSM nasional dan internasional memberikan akses pada pengetahuan melalui pelatihan, dan perlindungan yang dapat memperkuat posisi perempuan;
- Timbulnya kesadaran, Kesadaran tentang pentingnya keterwakilan perempuan dalam politik mulai tumbuh, meski implementasinya masih perlu diperjuangkan.
Kesimpulan dan penguatan
Aktivisme di Buton Tengah menjadi ruang baru setelah daerah ini menjadi bagian dari daerah otonomi, tentu akan menghadapi tantangan pembangunan daerah yang kompleks. Perempuan juga mengambil peran dalam ruang aktivisme namun sering tersubordinasi. Mereka adalah episentrum gerakan mobilisasi dan pemberdayaan ditingkat komunitas, namun masih terhambat oleh struktur budaya patriarkal, beban ganda, dan stigmatisasi yang membatasi akses mereka ke pusat-pusat kekuasaan.
Untuk itu diperlukan penguatan dan dorongan yang terukur dan berkelanjutan, dengan memanfaatkan potensi yang ada melalui pelembagaan yang solid dikalangan Perempuan, apresiatif terhadap kontribusi mereka dalam segala aspek, pendampingan dan pelatihan, serta mendorong kebijakan pemerintah yang representative bagi Perempuan.
penulis : Aburahman_peneliti yayasan pancana