Smbr img : Kognisia

Kabupaten Buton Tengah (Buteng), daerah pemekaran di Sulawesi Tenggara, masih bergulat dengan kesenjangan gender yang dalam. Data terbaru menunjukkan indeks pembangunan perempuan di Buteng jauh di bawah rata-rata nasional.

Sejak dimekarkan pada 2014, Kabupaten Buton Tengah (Buteng) tak hanya menghadapi tantangan pembangunan infrastruktur, tetapi juga pembangunan sumber daya manusia yang inklusif. Salah satu persoalan mendasar yang mengemuka adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam ruang publik.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Buteng 2023 mengonfirmasi hal ini: Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) daerah ini masih tertinggal dari angka nasional.

Fenomena ini bukanlah insiden tunggal. Rendahnya peran perempuan di Buteng adalah hasil dari jalinan kompleks faktor sosial-budaya, ekonomi, dan politik yang saling menguatkan. Untuk memutus mata rantai ini, diperlukan pendekatan holistik yang menyentuh akar persoalan.

Realitas Yang Mengungkung

Belenggu Budaya Patriarki. Masyarakat Buton memiliki struktur adat yang kuat dan patriarkis. Dalam sistem ini, perempuan secara tradisional ditempatkan di ranah domestik (urusan rumah tangga dan anak), sementara laki-laki mendominasi ruang publik. Nilai-nilai seperti “patuh”, “malu”, dan “tidak pantas” bagi perempuan untuk bersaing dengan laki-laki masih sangat mengakar. Gerakan kesetaraan gender sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan sosial.

Akses Terbatas pada Pendidikan dan Ekonomi. Data BPS (2023) menunjukkan Angka Partisipasi Kasar (APK) perempuan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi masih lebih rendah daripada laki-laki. Keterbatasan ini menyempitkan kesadaran kritis perempuan tentang hak-haknya. Di sektor ekonomi, mayoritas perempuan bergantung pada suami atau keluarga laki-laki. Ekonomi Buteng yang agrarmenyediakan sedikit lapangan kerja formal bagi perempuan, sehingga mereka banyak terserap di sektor informal dengan upah rendah. Beban ganda (domestik dan ekonomi) menyisakan sedikit waktu untuk berorganisasi atau mengembangkan diri.

Kebijakan yang Buta Gender. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah yang didominasi laki-laki seringkali tidak menyentuh kebutuhan spesifik perempuan. Misalnya, perhatian terhadap layanan kesehatan reproduksi yang memadai atau pusat pelayanan bagi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih sangat minim. selain itu Representasi Politik yang Minim juga menjadi fenomena akut. Kultur politik lokal di Buteng masih sangat maskulin. Pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 lalu, keterwakilan perempuan di DPRD Buteng hanya 3 orang dari 25 kursi, masih jauh dari kuota 30%. Kaderisasi partai politik lebih memprioritaskan kader laki-laki, membuat perempuan yang ingin terjun ke politik menghadapi bias gender yang besar. Siklus yang Sulit Diputus. Minimnya representasi perempuan di posisi pengambilan keputusan menciptakan siklus negatif. Tanpa suara perempuan di kebijakan, produk hukum yang dihasilkan cenderung tidak sensitif gender. Pada gilirannya, tanpa kebijakan yang memihak, perempuan semakin sulit untuk maju.

Untuk menjawab tantangan multidimensi ini, diperlukan strategi yang terintegrasi dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan:

Yang Mesti di Didorong

Pendidikan dan Penyadaran Kritis: Memperkuat program pendidikan non-formal tentang hak-hak perempuan melalui pusat-pusat belajar masyarakat, dengan metode yang menghargai nilai lokal.

Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Lokal: Membuka akses permodalan (seperti KUR khusus perempuan), pelatihan kewirausahaan berbasis potensi laut dan pertanian, serta mendorong pembentukan koperasi perempuan.
Kaderisasi Politik dan Pendampingan: Membentuk “sekolah politik” bagi calon pemimpin perempuan, mendorong partai politik memastikan efektivitas kuota 30%, dan membangun jaringan dengan gerakan perempuan di daerah lain.
Melibatkan Tokoh Kunci: Mengajak tokoh adat dan agama yang progresif untuk menyuarakan interpretasi nilai-nilai agama dan adat yang lebih inklusif. Peran mereka sangat krusial dalam mengubah persepsi masyarakat.

Rendahnya peran perempuan di ruang publik Kabupaten Buton Tengah adalah masalah sistemik. Memutus mata rantai ketimpangan ini memerlukan intervensi yang tidak hanya menargetkan perempuan sebagai individu, tetapi juga mengubah struktur sosial dan kebijakan yang menindas. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, tokoh adat/agama, dan tentu saja, perempuan sendiri, adalah kunci menciptakan Buteng yang inklusif dan setara, di mana setiap potensi dapat berkontribusi penuh bagi pembangunan daerah.

Penulis : andYsaliwu_orang biasa yang menjunjung tinggi pluralitas.